Jumat, 14 Juni 2013

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN

Islam dan Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah baru yang muncul di akhir abad 20 M. Namun sebenanarnya secara esensial wacana ini telah ada sejak Islam lahir, karena Islam lahir guna membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sitem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, poligami dan poliandri tanpa batas/aturan, dan lain-lain).
Istilah teologi pembebasan lahir kemudian setelah muncul wacana Marxis, sebagai bentuk perjuangan kelas kaum ploletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis. Namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan mengacu kepada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Teologi pembebasan sendiri itu lahir guna merombak paradigma berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syar’i yag tertuang dalam teks nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist) hanya sebagai sebagai rutinitas agama (sebatas aturan hukum fiqh), bukan menjadi suatu sitem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menginspirasi umat Islam dalam kehidupan keseharianya. Semisal dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar, selama ini landasan tersebut hanya diimplementasikan dalam tatanan fiqh (shalat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esensial dari tataran fiqh tersebut tak terimplementasikan dengan sempurna dalam ranah sosial.
Padahal menurut Asghar Ali Engineer, salah satu tokoh yang memaparkan Islam sebagai teologi pembebasan mengatakan bahwa, teologi pembebasan lahir untuk mengambil peran dalam membela kelompok yang tertindas, baik ketertindasan dalam hal religius maupun politik, dan penindasan ini dapat terlihat dalamtatanan sosial (pengkelasan sosial).
Memang kadangkala Islam (Agama) bisa mencandukan masyarakat sebagaimana yang diutarakan oleh Karl Mark, bahwa “agama adalah candu” yang turut serta mempertahankan status quo dan tak mendukung perubahan. Namun disisi yang lain, Islam (Agama) bisa menjadi sebuah ideologi yang revolusioner sebagai wujud pembelaan diri dari berbagai penindasan.
Kalau kita mencoba merefleksikan sejarah, memang dalam sejarah pemerintaha Islam sendiri sering menggunakan agama sebagai alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Terlebih setelah berakhirnya pemerintahan Khulafa’ al-Rashidun, dimana sistem pemerintahan Islam dirombak dari sistem musyawarah dan mufakat menjadi sistem monarqi yang bersifat turun temurun. Dan pemerintah lebih condong (dekat) dengan golongan-golongan yang apatis terhadap politik (hanya menjalankan tututan sya’i sebagaimana tutunan hukum fiqh saja), serta memberengus golongan-golongan yang tak sefaham dengan pemerintah.
Menurut Ibnu Taimiyyah, pemerintahan demikian bukanlah pemeritahan yang baik. Yang mana ia menuturkan bahwa sistem pemerinthan yang berkeadilan walau disertai dengan perbuatan dosa itu lebih baik dari pada sistem tirani yang alim. Lebih jauh ia mengatakan bahwa Allah membenarkan negara yang berkeadilan meski diperintah oleh orang kafir dari pada negara yang tidak menjamin keadilan meski dipimpin oleh orang muslim.
Mengacu pada berbaagai problematika diatas, maka selayaknya Islam (Agama) harus mentransformasikan dirinya menjadi alat yang canggih dalam melakukan perubahan sosial. Islam jangan hanya menekankan pada formalitas ibadah ritual (hanya sampai pada tahapan fiqh), tanpa menghiraukan tatanan sosial seperti kadilan dan persaudaraan. Sudah menjadi keharusan Islam menjadi sebuah sistem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menjiwai setiap muslim untuk melawan berbagai penindasan dan membebaskan manusia dari keterasingan.

Negara, Orla, Orba dan 15 Tahun Reformasi

Negara, Orla, Orba dan 15 Tahun Reformasi
Reformasi telah 15 tahun terlewati, berbagai problematika masyarakat berbangsa dan bernegara naik ke permukaan mewarnai dilematika bangsa ini. Namun apakah yang dapat kita rasakan di era reformasi yang begitu bebas ini? Benarkah era sekarang lebih menjajikan kesejahteraan bagi masyakarat kecil serta masyarakat kota pinggiran? Atau era sekarang lebih kejam dan mengerikan dari era sebelumnya dan menelantarkan rakyat kecil miskin kota? Korupsi meraja lela, peran negara dalam pandangan masyarakatpun dipertanyakan keberadaanya!
Sejarah
Jika kita mengaji sebuah peradaban, memang benar apa yang menjadi nilai dari sebuah sejarah. “apa yang terjadi sekarang merupakan buah tangan dari peninggalan masa lalu sekaligus meruakan representatif dari masa yang akan datang”. Maka seyogyanya sebelum kita membahas 15 tahun reformasi beserta seluk beluknya, tak etis rasanya tanpa menyingguang Orede Baru (Orba), dan sekilas tentang Orde Lama (Orla).
Perlu menjadi acuan bagi semua kawan-kawan, sejarah bukanlah sebatas hafalan, sejarah itu adalah sebuah kenyataan, nilai kebenaran dan kenyataan sejarah terletak pada substansi peristiwa. Yang menjadi problem kemudian adalah letak sejarah yang tertulis, apakah benar sejarah yang tertulis mendekati kebenaran peristiwa? Perlu dicanangkan dalam fikiran kawan-kawan semua, “sejarah yang tertulis adalah milik penguasa”. Namun demikan, tak semua sejarah yang tertulis kabur dari nilai kebenaran. Dalam sejarah terdapat istilah “versi” sejarah, maka tak elok rasanya kita mengabaikan versi sejarah. Yang perlu kita lakukan adalah menverifikasi berbagai versi yang ada, kemudian menyimpulkan, yang manakah versi yang mendekati nilai kebenaran sebuah peristiwa!
Sekilas Masa akhir Orla
Soekarno di masa akhir pemerintahanya menggunakan demokrasi terpimpin, titik tolaknya adalah dekrit persiden 5 juli 1959. Dekrit ini dilandasi karena kegagalan dewan konstituante dalam menyusun undang-undang dasar baru bagi republik. Untuk mengendalikan keadaan, maka Soekarno mengeluarkan dekrit. Adapun isi dari dekrit tersebut diantaranya: pembubaran dewan konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, tidak diberlakukanya UUDS 1950, pemakluman bahwa pebentkan MPRS dan DPRS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya, dan dinyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.
Dengan dekrit ini, maka kekuasaan Soekarno sangat dominan, dan dalam prakteknya kemudian DPR yang menunjuk dan melantik adalah presiden. Padahal DPR merupakan bagian dari MPR, sedangkan MPR sendiri menurut UUD merupakan lembaga tertinggi negara yang membawahi presiden. Dominasi kekuasaan Soekarno juga didukung oleh proyek besarnya, yakni menyatukan tiga ideologi besar (tiga sub ideologi partai besar) yang terkenal dengan istilah NASAKOM (Nasionalis, Komunis, dan Agama). Dengan adanya Nasakom ini, keberadaan Komunis (PKI) semakin dominan, dan PKI pula lah yang kemudian menjadi kekuatan yang selalu dianak emaskan Soekarno.
G 30 S, dan Berdirinya Orba
Gerakan 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan istilah G 30 S, merupakan tragedi besar yang menjadi titik tolak berakhirnya masa pemerintahan Soekarno dan kemudian digantikan dengan Soeharto. Adapun dalang dari gerakan ini banyak versi, diantaranya :
PKI; golongan ini dituding menjadi dalang gerakan makar yang hendak menjadikan republik ini menjadi negara komunis. Versi ini dilontrkan oleh angkatan darat (AD), dan pemerintah Orba.
AD; angkatan darat dituding menjadi dalang, yang mana G 30 S merupakan rekayasa AD dengan menyusup ke tubuh PKI, kemudian merekayasa gerakan 65.
CIA; Amerika (CIA) tidak berkenan dengan melihat Indonesia yang semakin memihak blok timur (Soviet, China). CIA tak berkenan Indonesia dikuasai oleh komunis.
Soeharto; disebutkan bahwa Soehartolah sebenarnya dalang dari gerakan tersebut, disaat jendral-jendral yang lain diculik oleh perusuh, mengapa Soeharo tidak? Sehingga ada indikasi, semua yang terjadi di tahun 65 merupakan rekayasa Soeharto belaka.
Dengan adanya G 30 S ini kemudian muncul Supersemar 1966 (Surat Perintah Sebelas Maret), Sepersemar inilah tonggak legalitas pemerintahan Soeharto (meski sampai sekarang keberadaan dari dokumen asli sepersemar tak pernah diketahuai).
Beberapa Kebijakan Orba
Di awal emerintahan Orba, kebijakan-kebijakan yang ditempuh lebih diarahkan untuk mengendalikan keamaan. Berbagai tuntutan paska G 30 S (Tritura) menjadi langkah pertama, diantaranya; membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, merombak kabinet gotong-royong dari unsur PKI, dan menurunkan harga dengan program kebinet pembangunan (diwujudkan dalam bentuk repelita, rencana pembangunan lima tahun).
Pada masa pemerintahan Orba, kondisi nasional cenderung stabil. Namun prakteknya banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pihak penguasa (Soeharto beserta kroni-kroninya). Pemerintahan dijalankan dengan otoriter, berbagai bentuk kritik terhadap penguasa dianggap sebagai pembangkang. Sentralistik kekuasaan dan ekonomi, kekuasaan terpusat sementara aset-aset perekonomian negara dikuasai oleh sekolompok kecil golongan yang dekat dengan penguasa, bahkan ada orang bilang “Soeharto itu sangat pancasilais, ini terbukti perekonomian negara dijalankan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong. Lihat saja kelurga cendana, aset-aset perekonomian negara dikuasai oleh mereka (cendana), bener-bener kekeluargaan dan gotong-royongkan?”.
Tak cuma berhenti disitu, SDA Indonesia diobral kepada pihak asing, KKN merajalela, dan tentunya semua ini didukung oleh peran Gokar sebagai mesin politik Soeharto beserta dengan dominasi militer (dengan dwi fungsinya) yang siap setia dibelakang Soeharto.
Krisis Moneter dan Lahirnya Reformasi
Pemerintahaan Soeharto mulai goyah tahun 1997 dengan adanya krisis moneter di Asia Tengara yang kemudian merembet ke indonesia. Dengan adanya krisis tersebut keadaan nasional semakin goyah, perekonomian nasional hancur, dan semua harga barang melambung tinggi (padahal tahun 1996 Indonesia digadang-gadang menjadi negara Asia Tenggara terdepan, dan dinyatakan siap lepas landas menjadi ngar maju).
Krisis moneter tersebut ternyata menyeret ranah politik dan sosial. Moment krisis digunakan oleh para mahasiswa yang selama ini dikibuli oleh pemerintah untuk menggulingkan Soeharto. Berbagai tuntutan reformasi didengungkan, diantaranya : Adili Soeharto , Amandemen UDD, Hapus dwi fungsi ABRI, Tegakkan supremasi hukum (berantas KKN), Desentralisasi kekuasaan, Tegakkan kebebasan Pers.
Karena desakan yang semakin keras dari para demonstran (ingat tragedi Trisakti), akhirnya Soeharto secara resmi mundur dari kursi kepresidenanya pada tanggal 21 Mei 1998.
15 Tahun Wajah Reformasi
Paska tumbangnya pemerintahan Orba, banyak cacat yang harus ditangung oleh pemerintahan sekarang, diantaraya utang luar negeri yang tak kunjung terlunasi dan semakin menumpuk.
Tak berhenti disitu, semangat reformasi yang diusung oleh gerakan 98 semakin kabur. Ini bisa kita lihat, KKN semakin merajalela, Otonomi daerah yang kacau (mempercepat liberalisasi ekonomi, modal asing masuk daerah), demoralisasi masyarakat, kerusuhan yang berbau SARA semakin meningkat, dan masih banyak berbagai problem pemerintahan sekarang.
Namun demikian yang perlu kita ingat, pemerintahan sekarang (reformasi) merupakan pemerintahan transisi. Pemerintahan yang baru meniti jalan dan terbebas dari berbagai pengekangan Orba. Jika kita disuruh membandingkan antara masa sekarang dengan masa Orba, sekarang tentunya lebih baik dari pada yang lalu.
Kita juga tak bisa menafikkan, berbagai problem menggerogoti pemerintahan transisi ini, berbagai permasalahan menjakiti. Bila kita lebih cermat, keadaan seperti ini merupakan wujud dari kapitalisme yang mewabah, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.
Pergerakan kapitalisme sekarang tak berjalan dengan cara kekerasan, namun pergerakanya secara halus dan menguasai pasar. Bila kita cermat, program otonomi daerah itu sangat memuluskan jalan kapitaslisme. “ingat pergerakan kapitalisme sepeti lintah darat”.

Adapun hal yang bisa kita lakukan sekarang yakni memberikan nilai sadar kepada masyarakat. Sebagaimana yang katakan oleh Soekarno bahwa esensi dari sebuah kebangkitan adalah kesadaran dan kemerdekaan. Tak ayal, jika kita ingin bangkit dari berbagai permasalahan di masa transasi ini, kita harus menumbuhkan rasa sadar dengan jalan mencerdasan berbagai elemen masyarakat (ingat mencerdaskan masyarakat tidak hanya lewat jalur pendidikan formal, salah satu Tri Darma Perguruan Tinggi yakni mengabdi kepada masyarakat, dimanakan peran kawan-kawan mahasiswa? Tidurkah kalian wahai yang disebut mahasiswa? Sadarkanlah masyarakat yang tertindas!)

Menggugah Nilai Sadar Mahasiswa

Menggugah Nilai Sadar Mahasiswa
Beban Sejarah
Sejarah, kajian yang sering diremehkan namun vital adanya. Bagaimana tidak, dengan melek sejarah kita dapat memandang dunia seluas-luasnya, dengan sejarah kita dapat mengkaji peradaban umat manusia berpuluh-puluh abad silam lamanya, dengan sejarah kita dapat mengetahui bagaimana konstruksi pemikiran individu maupun kelompok masyarakat diberbagai tempat dan tahapan masa. Begitulah sejarah, dengan sejarah kita dapat meraba dunia.
Entitas manusia tanpa sejarah maka ia akan memikul beban sejarah. Keterputusan sejarah merupakan awal dari kehancuran, yang mana tanggung jawab sosial dihadapan masyarakat menjadi beban tersendiri, kerana cara pandang masyarakat terhadap entitas masyarakat pasti dipandang dari sudut kesejarahanya.
IAIN dan Kenangan
Kebesaran IAIN Sunan Kalijaga tetap terkenang sampai sekarang. Bagaimana dialektika keilmuan serta kerangka berfikir mahasiswanya yang begitu progresif, begitu aplikatif dalam study keilmuan, dan begitu lantang serta pedulinya mahasiswa dalam melihat penindasan (permasalahan-permasalahan sosial).
Mahasiswa IAIN sebelum reformasi sangat terkenal dengan ke-PD-anya (kepercayaan dririnya), mereka tak memperdulikan penampilan, yang mereka utamakan adalah kerangka berfikir terhadap suatu ilmu dan pengetahuan, serta mengesampingkan hal-hal yang tak menunjang keilmuan.
Kelompok-kelompok diskusipun menjamur dimana-mana, yang mana setiap kelempok mahasiswa saling berlomba-lomba mengadakan kegiatan mapupun kajian-kajian diskusi, hal ini berilmplikasi terhadap wajah IAIN yang setiap hari selalu diwarnai dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) memiliki akses yang sangat luas. Kegiatan UKM masa IAIN begitu atraktif dan inovatif, ruang geraknyapun bebas tak tersekati seperi sekarang. Dan uniknya masa IAIN, disetiap fakultas pasti dijumpai kantor-kantor UKM, yang berimbas disemua lini kampus terpenuhi dengan kegiatan mahasiswa.
Sentral kegiatan mahasiswa, yakni Masjid Kampus (Maskam) dibuka seluas-luasnya, tak ada pembatasan terhadap mahasiswa dalam mengakses fasilitas-fasilitas kampus yang memang selayaknya menjadi haknya.
Semua kondisi diatas ditunjang dengan, “kemerdekaan mahasiwa dalam menyampaikan gagasan sangat kentara, dan dijamin hak-haknya”.
Dilematika Mahasiswa Sekarang
Hampir satu dekade lamanya wajah kampus putih telah berubah. Kampus yang dulu bernama IAIN Sunan Kalijaga berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga. Berbagai study keilmuan barupun dimunculkan di kampus ini, dengan harapan kampus ini semakin menapaki kemajuan.
Namun kemudian muncul pertanyaan, bagaimanakah kondisi mahasiswa saat ini? Bagaimana dialektika keilmuanya? Apakah kerangka berfikir mahassiwa sekarang masih progresif? Bagaiamana aplikatif mahasiswa dalam bidang study keilmua? Masih membudayakah kelompok-kelompok dislusi di setiap jengkal tanah UIN ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang seharusnya kita jawab sebagai acuan berhasil tidaknya perubahan-perubahan sistem di kampus ini.
Perlu kita ingat, kita sekarang hidup dengan arus perubahan yang sangat deras, gelombang globalisasi sebagai wujud liberalisme telah menjalar kemana-mana. Tentunya kondisi ini mempengaruhi sikap dan mental mahasiswa dalam membentuk kesadaran keilmuanya.
Memang tak bisa dipungkiri, berbagai kelompok diskusi semakin sulit dijumpai, yang ada hanya segerombolan orang (kelompok diskusi) yang terpinggirkan oleh sistem yang sengaja dibuat oleh para pemangku kebijakan yang sedang duduk berleha-leha disana, tanpa tau apa yang dibutuhkan mahasiswa. Kerangka-kerangka berfikir mahasiswapun sekarang dimodel tersekat-sekat, marginalisasi pengetahuanpun sangat kentara di dalamnya. Meskipun semua otangpun tahu, kefokusan dalam kajian keilmuan itu bagus, namun hal itu tidak berguna bila tak menimbulkan kesadaran terhadap tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Apa yang harus kita lakuakan?
Problematika mahasiswa yang begitu kompleks ini bukanlah perkara mudah untuk dicari jalan keluarnya, namun bukan berarti kita harus diam dan menerima arus begitu saja. Ini bukan masalah tanggung jawabku atau tanggung jawabmu, ini bukan masalah pilihanku atau pilihanmu, tapi ini masalah nilai sadar dalam dialektika keilmuan dan pertanggung jawabanya kepada masyarakat yang harus kita pecahkan bersama.
Pers Mahasiswa, seharusnya memainkan peranan lebih disini, banyak yang bisa dilakukan oleh pers dalam merekonstruksi pemikiran. Kerana bagaimanapun, perslah yang memproduksi wacana, yang secara tidak langsung dapat menggugah kesadaran atas berbagai keterbelakangan mahasiswa.

Tak etis rasanya jika jika semua termasuk insan pers hanya diam, duduk manis menikmati kondisi zaman, sementara bentuk kesadaran dalam konteks keilmuan mahasiswa semakin kabur dimakan arus. Perlu menjadi acuan kita semua, “banyak hal yang bisa kita lakukan, jangan mati sebelum bergerak. Tengoklah sejarah, karena sejarah adalah cermin yang dapat mennggugah nilai sadar kita bersama”.

Jumat, 04 Januari 2013


Dilematika Komersialisasi Pendidikan
Aspek kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya meliputi aspek ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Namun dari ketiga aspek tersebut aspek pendidikanlah yang paling pokok, karena pendidikan merupakan lokomotif pembaharuan bangsa, dimana dengan majunya pendidikan aspek ekonomi serta kesehatan akan terangkat.

Pembangunan pendidikan suatu bangsa tidak akan pernah berhenti dan selesai. Karena kondisi bangsa di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir masyarakatnya yang terbentuk melalui proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini ke dalam keadaan yang lebih baik, namun sebaliknya proses pendidikan yang tidak terarah hanya akan membuang energi yang sia-sia dan tanpa ada hasil.

Karena pendidikan merupakan hal mendasar yang harus diperoleh oleh setiap masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Maka setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, tanpa melihat status sosial mereka. Hal ini telah diatur dalam konstitusi NKRI, yaitu termuat dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1.

Banyak sekali aspek yang mendukung keberhasilan proses pendidikan, salah satunya adalah sarana dan prasarana dan keuangan yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan untuk mengelola proses pendidikan. Aspek inilah yang sering kali digunakan sebagai alasaan adanya komersialisasi dalam bidang pendidikan.

Komersialisasi pendidikan memang perlu dan terkadang sangat diperluhkan demi berlangsungnya proses pendidikan, tetapi jangan sampai hal itu menjadi orientasi mencari keuntungan semata karena hal itu akan menyebabkan membiasnya esensi pendidikan sehingga esensi dari proses pendidikan tidak akan lagi dirasakan dan tersampaikan kepada peserta didik.

Namun realitasnya pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi yang tidak terkendali, dan maraknya pungutan liar. Salah satu contohnya kebijakan mengenai rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang  terkesan semakin diskriminatif, dan hanya mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya biaya pendidikan yang hanya mampu dinikmati oleh masyarakat yang berekonomi mapan, sementara kemampuan ekonomi mayoritas masyarakat kita masih tergolong sangat rendah. Bagi masyarakat yang tidak mampu, pendidikan yang bagus hanyalah sebuah mimpi dan ironisnya ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif namun kurang mendapat respon positif dari pemerintah bahkan terkesan dibiarkan berjalan sendiri.

Sebenarnya rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang selama ini dibangga-banggakan menjadi ikon kemajuan pendidikan bangsa ini pincang, pincang karena memang dari awal keberadaanya sudah mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun dalam UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 berbunyi “pemerintah atau peerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”, UU Sisdiknas ini menjadi awal bagi terbukanya ladang komersialisai pendidikan yang disayangkan hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang berekonomi mapan.

Komersialiasi pendidikan semacam ini membuktikan pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan anak bangsa, karena mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu akan sulit memperoleh pendidikan yang layak bahkan semakin sulit pula bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Hal seperti inikah yang dilakukan negara terhadap warganya, sementara dalam konstitusi negara kita diamanahkan bahwa negara harus memberikan pendidikan yang layak, bahkan dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945 telah disebutkan bahwa salah satu tujuan negara ini yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan seharusnya menjadi milik setiap anggota masyarakat, tanpa terkecuali. Dan tidak ada pembagian kelas sosial di dalamnya. Masyarakat yang berekonomi kurang mampupun berhak merasakan pendidikan yang bermutu dan mendapat akses pendidikan yang terjangkau masyarakat.

Selama ini pemerintah juga kurang memperhatiakan pemerataan pendidikan di daerah yang berjalan kurang optimal, biaya pendidikan di daerah juga tergolong sangat tinggi, dan jumlah sekolah yang ada juga sangat terbatas. Warga negara di daerah dan masyarakat adat yang terpencil juga berhak merasakan pendidikan yang layak. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istemewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

Sistem pendidikan kita masih perlu banyak perbaikan, baik dari tenaga maupun fasilitasnya. Pendidikan yang bermutu tidak harus mahal, tetapi pendidikan yang bermutu itu pendidikan yang mampu mencetak insan yang bermoral dan berkarakter disamping penguasaan teknologi yang mempuni. Yang mampu merubah wajah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi kritis terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang pendidikan nasional, karena selama ini kinerja pemerintah dibidang pendidikan tidak menunjukkan hasil yag signifikan. Hal ini dapat terlihat dari masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang tidak melanjutkan pendidikan serta terbatasnya akses pendidikan yang bisa dijangkau masyarakat berekonomi rendah.

Rabu, 02 Januari 2013

Kick Off Divisi Utama 2 Maret 2013

Kick Off Divisi Utama 2 Maret 2013

SNMPTN Hanya Undangan?
Alih-alih memeratakan layanan dan mutu pendidikan secara nasional, tahun 2013 Kemendikbud malah menetapkan SNMPTN 2013 hanya dibuka untuk jalur Undangan, banyak kalangan yang menganggap kebijakan itu jauh dari rasa adil.

Mulai tahun 2013, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang sedianya diikuti oleh 61 perguruan tinggi negeri diseluruh Indonesia tidak akan membuka jalur ujian tulis, tetapi hanya jalur undangan. Sebanyak 150.000 lulusan SMA/SMK/MA diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri melalui jalur ini.

Presentase daya tampung jalur undangan akan diperlebar, setidaknya mencapai 50 persen dari jumlah total mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri yang mencapai 300.000 kursi. Sementara jalur ujuan tulis masih ada, tetapi namanya bukan SNMPTN, melainkan Seleksi Mandiri Bersama yang akan dilakukan serempak di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Alokasi daya tampung untuk Seleksi Mandiri Bersama ini mencapai 30 persen, adapun perguruan tinggi bersangkutan hanya diberikan porsi 20 persen jalur mandiri yang diselenggarakan masing-masing PTN.

Sementara SNMPTN 2013 yang menurut rencana pendaftaranya akan dimulai pada tanggal  1 Februari 2013 s/d 8 Maret 2013 ini mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan sistem SNMPTN tahun sebelumnya. Pasalnya, pemerintah berencana membebaskan biaya pendaftaran, karena selama ini biaya itu dianggap menjadi hambatan bagi sebagian siswa untuk mendaftar. Dan juga dalam sistem penilaian akreditasi sekolah tidak lagi menentukan jumlah siswa yang bisa mendaftar SNMPTN, serta hasil ujian nasional juga digunakan sebagai evaluasi akhir terhadap kelulusan untuk semua jalur seleksi. Kebijakan ini diambil karena beralasan sebagai apresiasi dan bentuk pengakuan atas jerih payah pembelajaran di SMA/SMK/MA.

Banyak kalangan yang mengkritisi kebijakan ini, kebijakan perlebaran jalur undangan dalam SNMPTN ini dinilai kurang efektif dan kurang adil, mengingat pemerataan pendidikan di Indonesia masih sangat pemprihatinkan, apalagi sekolah-sekolah terpencil di daerah disamaratakan dengan sekolah-sekolah di kota yang sudah bertaraf nasional maupun internasional.

Kebijakan ini juga rentan bahkan memicu kecurangan, pasalnya pihak sekolah pasti lebih memprioritaskan nilai-nilai kognitif dan penilaian guru kepada siswa menjadi kurang objektif karena hanya terpaku pada nilai. Manipulasi nilai juga sangat rentan terjadi dilembaga sekolah, karena lemahnya pengawasan.

Sebenarnya kebijakan lama tentang SNMPTN ujian tulis tidak terlalu buruk, dan terbukti lebih efektif untuk meminimalisir kecurangan. Meski begitu, apabila pelebaran SNMPTN undangan jadi terealisasikan, maka perlu pengawasan ekstra dari pihak terkait (Kemendikbud beserta jajaranya) terkait dengan penilaian kognitif yang dilakukan oleh pihak sekolah kepada siswanya. Serta pemerintah disini Kemedikbud harus memberikan porsi penilaian yang lebih terhadap siswa yang memiliki prestasi di luar prestasi akademik, sehingga rasa adil dan kecurangan bisa diminimalisir.

Kebijakan pelebaran SNMPTN undangan ini juga bisa diiringi dengan pemerataan pendidikan disetiap daerah, serta standar penilain antara sekolah satu dengan sekolah lain harus dibedakan. Karena memang diakui atau tidak, perbedaan kualitas antar sekolah mempengaruhi bobot dari nilai yang diberikan pihak sekolah terhadap siswanya.