Jumat, 14 Juni 2013

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN

Islam dan Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah baru yang muncul di akhir abad 20 M. Namun sebenanarnya secara esensial wacana ini telah ada sejak Islam lahir, karena Islam lahir guna membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sitem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, poligami dan poliandri tanpa batas/aturan, dan lain-lain).
Istilah teologi pembebasan lahir kemudian setelah muncul wacana Marxis, sebagai bentuk perjuangan kelas kaum ploletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis. Namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan mengacu kepada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Teologi pembebasan sendiri itu lahir guna merombak paradigma berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syar’i yag tertuang dalam teks nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist) hanya sebagai sebagai rutinitas agama (sebatas aturan hukum fiqh), bukan menjadi suatu sitem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menginspirasi umat Islam dalam kehidupan keseharianya. Semisal dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar, selama ini landasan tersebut hanya diimplementasikan dalam tatanan fiqh (shalat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esensial dari tataran fiqh tersebut tak terimplementasikan dengan sempurna dalam ranah sosial.
Padahal menurut Asghar Ali Engineer, salah satu tokoh yang memaparkan Islam sebagai teologi pembebasan mengatakan bahwa, teologi pembebasan lahir untuk mengambil peran dalam membela kelompok yang tertindas, baik ketertindasan dalam hal religius maupun politik, dan penindasan ini dapat terlihat dalamtatanan sosial (pengkelasan sosial).
Memang kadangkala Islam (Agama) bisa mencandukan masyarakat sebagaimana yang diutarakan oleh Karl Mark, bahwa “agama adalah candu” yang turut serta mempertahankan status quo dan tak mendukung perubahan. Namun disisi yang lain, Islam (Agama) bisa menjadi sebuah ideologi yang revolusioner sebagai wujud pembelaan diri dari berbagai penindasan.
Kalau kita mencoba merefleksikan sejarah, memang dalam sejarah pemerintaha Islam sendiri sering menggunakan agama sebagai alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Terlebih setelah berakhirnya pemerintahan Khulafa’ al-Rashidun, dimana sistem pemerintahan Islam dirombak dari sistem musyawarah dan mufakat menjadi sistem monarqi yang bersifat turun temurun. Dan pemerintah lebih condong (dekat) dengan golongan-golongan yang apatis terhadap politik (hanya menjalankan tututan sya’i sebagaimana tutunan hukum fiqh saja), serta memberengus golongan-golongan yang tak sefaham dengan pemerintah.
Menurut Ibnu Taimiyyah, pemerintahan demikian bukanlah pemeritahan yang baik. Yang mana ia menuturkan bahwa sistem pemerinthan yang berkeadilan walau disertai dengan perbuatan dosa itu lebih baik dari pada sistem tirani yang alim. Lebih jauh ia mengatakan bahwa Allah membenarkan negara yang berkeadilan meski diperintah oleh orang kafir dari pada negara yang tidak menjamin keadilan meski dipimpin oleh orang muslim.
Mengacu pada berbaagai problematika diatas, maka selayaknya Islam (Agama) harus mentransformasikan dirinya menjadi alat yang canggih dalam melakukan perubahan sosial. Islam jangan hanya menekankan pada formalitas ibadah ritual (hanya sampai pada tahapan fiqh), tanpa menghiraukan tatanan sosial seperti kadilan dan persaudaraan. Sudah menjadi keharusan Islam menjadi sebuah sistem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menjiwai setiap muslim untuk melawan berbagai penindasan dan membebaskan manusia dari keterasingan.