Jumat, 28 Desember 2012


Oleh : Usman Hadi

Kalimat Efektif, Antara Kaidah Dan Penggunaanya
Setiap gagasan, pikiran, atau konsep yang dimiliki oleh seseorang pada prakteknya harus dituangkan dalam bentuk kalimat. Tentunya kalimat tersebut harus menimbulkan gagasan yang sama dalam pikiran pendengar atau pembaca, sebagaimana yang dipikirkan oleh pembicara atau penulis.

Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa lepas dari lingkunganya, hubungan ini menimbulakan interaksi dan tindakan sosial. Namun ada satu hal yang mendasar disetiap interaksi dan tindakan sosial tersebut, yakni komunikasi.

Sebagaimana yang kita ketahui, komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam masyarakat, orang lain akan tahu dengan apa yang kita inginkan melalui perantara komunikasi, demikian juga sebaliknya, kita akan tahu apa yang diinginkan masyarakat dan lingkunagan kita dengan komunikasi pula.

Banyak sekali model seseorang dalam berkomunikasi, baik dengan bahasa tubuh, ucapan , maupun dalam bentuk tulisan. Tidak bisa dipungkiri, komunikasi melalui ucapan dan tulisan lebih dominan dalam komunikasi kita sehari-hari. Namun kemudian muncul permasalahan, terkadang kita kesulitan dalam menyampaikan sesuatu apa yang kita inginkan karena timbulnya miskomunikasi. Banyak orang yang tidak sadar mengapa kita sering mengalami miskomunikasi, miskomunikasi itu terjadi karena kita sering menggunakan kalimat ambigu dan kurang efektif.

Kalimat sendiri merupakan bagian terkecil dari ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran secara utuh dalam ketatabahasaan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titiknada, disela oleh jeda, dan diakhiri oleh intonasi selesai. Sedangkan dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf capital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru.

Kalimat yang benar dan jelas akan menghindarkan kita dengan kalimat ambigu, karena kalimat tersebut mudah dipahami orang lain, kalimat demikian disebut kalimat efektif. Sebuah kalimat efektif harus memiliki kemampuan untuk memunculkan kembali gagasan pada pikiran pembaca atau pendengar seperti yang terdapat dalam pikiran penulis atau pembicara. Hal ini berarti bahwa kalimat efektif  harus disusun secara sadar guna mencapai daya informasi yang diinginkan penulis atau pembicara terhadap pembaca atau pendengar.

Kalimat dikatakan efektif bila memenuhi dua kriteria berikut. Pertama, kalimat tersebut secara tepat dapat mewakili gagasan atau perasaan pembicara atau penulis. Kedua, kalimat tersebut sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam pikiran pendengar atau pembaca seperti yang dipikirkan oleh pembicara atau penulis.

Kalimat sangat mengutamakan keefektifan informasi itu, sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin. Kalimat efektif menggunakan kaimat yang singkat, padat, jelas, lengkap, dan menyampaikan informasi secara tepat.

Ciri-ciri Kalimat Efektif
Banyak para ahli bahasa yang berusaha merumuskan ciri-ciri kalimat efektif ini, namun secara garis besar ciri-ciri kalimat efektif dapat dikategorikan sebagai berikut.

Pertama, keutuhan, kesatuan, kelogisan, atau kesepadanan makna dan struktur. Kesatuan kalimat disini ditandai dengan kesepadanan struktur dan makna kalimat.

Kedua, kesejajaran bentuk kata dan atau struktur kalimat secara gramatikal. Kesejajaran disini berarti penggunaan bentuk gramatikal yang sama untuk unsur kalimat yang sama fungsinya. Jika sebuah fikiran dinyatakan dengan frase, maka fikiran-fikiran sejajar yang lain harus dinyatakan pula dengan frase. Jika suatu gagasan dinyatakan dengan kata kerja bentuk me-, di-, dan sebagainya, maka gagasan yang lain yang sejajar harus dinyatakan pula dengan kata kerja me-, di-, dan sebaginya.

Ketiga, kefokusan fikiran sehingga mudah difahami. Kefokusan ini bertujuan agar kalimat tersebut dapat dengan mudah difahami maksudnya. Untuk menjaga kesatuan gagasan hendaknya dicamkan asas “tiap kalimat harus mengandung satu ide pokok”, agar setiap kalimat mudah ditangkap dalam berkomunikasi.

Keempat, kehematan penggunaan unsur kalimat. Hemat disini berarti hemat dalam penggunaan kata, frase, dan bentuk lain yang dianggap tidak perlu, tetapi tidak menyalahi kaidah tata bahasa. Hal ini dikarenakan, pengguanaan kata yang berlebihan akan mengaburkan maksud kalimat. Untuk menjamin kehematan kalimat, setiap unsur kalimat harus berfungsi dengan baik dan menghindari kalimat yang mubazir.

Kelima, kecermatan dan kesantunan. Kecermatan dan kesantunan ini berkaitan dengan ketepatan memilih kata sehingga menghasilkan komunikasi yang baik, tepat, dan tanpa gangguan emosional pembaca atau pembaca atau penulis.

Keenam, kevariasian kata dan struktur sehingga menghasilkan kesegaran bahasa. Kevariasian ini bertujuan agar pembaca tidak merasa bosan dan jenuh saat membaca tulisan sang penulis. Sedangkan yang dimaksud dengan variasi kalimat disini ialah variasi kalimat-kalimat yang membangun kalimat dalam paragraf, yang dilakukan dengan variasi struktur, diksi, dan gaya bahasa asalkan tidak menimbulkan perubahan makna.

Ketujuh, ketepatan diksi. Ketepatan diksi harus mengungkapkan pikiran secara tepat, seksama, dan lazim. Serta dapat membedakan kata-kata yang hampir bersinonim, kata yang berlawanan makna, dan kesesuaian makna. Sehingga terhindar dari penggunaan kata yang ambigu.

Kedelapan, ketepatan ejaan. Kecermatan penggunaan ejaan sangat menentukan kualitas dalam penyajian data. Dimana ada tuntutan untuk menerapkan kaidah sesuai dengan EYD, supaya informasi yang didapat itu baik dan benar dan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis.

Sebenarnya kita dapat terhindar dari kata-kata ambigu yang sering menimbulakan miskomunikasi bila kita dengan seksama menggunakan kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar, dan kita perlu cermat serta perlu lebih memahami ciri-ciri kalimat efektif itu sendiri.

Maka dari itu dalam setiap kegiatan hendaknya kita memperhatikan penggunaan kalimat, agar kalimat tersebut menjadi efektif (sesuai dengan apa yag kita kehendaki), serta dalam benkomunkasi hendaknya kita menghindari atau setidaknya meminimalisir penggunaan kalimat yang tidak efektif.

Sumber Bacaan :
Ahmad Widyamarta, Seni Menggunakan Kalimat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
Endang Hartini, dkk, Bahasa Indinesia, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, 2005)

Rabu, 26 Desember 2012


Hari Keuangan, Antara Sejarah dan Realita Sekarang
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, ini merupakan pesan dari founding Fathers kita Ir. Soekarno yang disampaikan dalam pidato kenegaraan beliau saat peringatan HUT RI-21. Istilah inilah yang kemudian terkenal dengan nama jas merah.

Sejarah Hari Keuangan Nasional selalu diperingati pada tanggal 30 Oktober. Karena 66 (enam puluh enam) tahun silam, tepatnya tanggal 30 Oktober 1946 telah diberlakukan mata uang nasional (ORI : Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti mata uang Jepang, uang NICA, dan uang keluaran Javasche Bank yang belaku dipasaran ketika itu.

Sejarah ORI ini sendiri bermula ketika Menteri Keuangan A.A Maramis pada awal-awal kemerdekaan membentuk tim khusus untuk menemukan tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Kemudin tim ini berhasil menemukan dua percetakan yang dianggap layak dan memenuhi persyaratan, yakni percetakan G. Kolff Jakarta dan percetakan Nederlands Indische Mataalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) Malang. Menteri akhirnya menetapkan pembentukan Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketahui oleh TBR. Sabarudin. Berawal dari inilah akhirnya ORI pertama kali dicetak yang ditangani oleh RAS. Winarno dan Joenet Ramli.

Pada tanggal 2 Oktober 1946 terjadi penggantian menteri, dimana Menteri Keuangan A.A Maramis digantikan oleh Mr Sjafruddin Prawiranegara. Pada masa jabatan beliau-lah usaha penerbitan uang sendiri mulai memperlihatkan hasilnya. Dimana mulai pada tanggal 30 Oktober 1946 telah resmi diterbitkan emisi pertama uang kertas ORI. Mata uang ini ditanda tangani oleh oleh Alexander Andries Maramis.

Sebelum mata uang ORI dikeluarkan, pada tanggal 29  Oktober 1946 Muhammad Hatta telah memberikan sambutan yang penuh dengan rasa semangat di Radio Rebublik Indonesia Yogyakarata. Dan salah satu sambutanya berbunyi “mulai besok, rakyat indonesia akan berbelanja dengan uangnya sendiri dan mulai besok, rakyat indonesia akan menjadi rakyat dari negara yang berdaulat atas ekonominya sendiri.”

Ternyata pencetakan mata uang ORI ini memberikan dampak yang sangat besar dalam masyarakat. Rakyat merasa bangga menggunakan uang yang bertuliskan Indonesia, ORI bukan hanya sekedar digunakan sebagai alat tukar menukar, namun lebih dari itu. ORI digunakan sebagai lambang kemerdekaan, alat pemersatu dan sebagai alat memperkenalkan diri pada masyarakat umum dan masyarakat dunia.

Realita Sekarang
Entah karena faktor waktu atau memang karena rasa nasionalisme yang telah memudar, rasa kebanggaan dengan mata uang sendiri semakin pudar. Uang ORI atau sekarang bernama Rupiah telah kehilanga karismanya, dan penggunaanya tidak lebih dari alat tukar, bahkan yang lebih ironis banyak kalangan yang enggan menggunakan mata uang rupiah dan lebih suka menggunakan mata uang asing dalam setaip transaksi, dengan alasan mata uang asing lebih setabil. Padahal, kepercayaan terhadap mata juga mempengaruhi nilai tukar mata uang tersebut.

Sedangkan Hari Keuangan yang setiap tanggal 30 Oktober diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional hanya sebatas rutinitas, tanpa berusaha menggali dan menguak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sungguh ironis memang, bangsa yang berkeor-keor pengagungan sejarah namun tidak menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah itu.

Seharusnya pemerintah lebih berusaha mensosialisasikan kepada masyarakat terkait dengan pentingnya Hari Keuangan Nasional sebagai salah satu icon kebangkitan nasional dalam bidang perekonomian. Sosialisasi ini bisa melalui pendidikan sekolah, penyuluhan masyarakat, ataupun yang lainya. Namun hal ini juga harus dimbangi oleh peran serta masyarakat untuk lebih menghargai mata uang Rupiah sebagai salah satu bagian yang tidak telepaskan dalam kehidupan bangsa kita

Selasa, 25 Desember 2012


Dunia Modern dan Kaum Sufi
Peradaban modern telah memajukan ilmu dan pengetahuan serta teknologi yang sangat pesat, namun dilain pihak timbul penderitaan yang sangat besar yang dialami umat manusia karena penyalahgunaan ilmu, pengetahuan, dan teknologi tersebut. Masyarakat modern juga sangat kering akan unsur sepritualitas, sehingga banyak orang yang terjebak dan kehilangan jati diri atas hubunganya dengan pencipta.

Modern atau modernitas banyak yang mengartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju masyarakat yang modern. Masyarakat yang modern memiliki berbagai ciri, diantaranya cara berfikir rasional dan ilmiah, serta objektif, orientasi masa depan, menghargai waktu, dan organisasi yang terstruktur.

Modernitas sendiri sangat erat kaitanya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif, tergantung bagaimana cara pengelolaanya. Kehadiran IPTEK tak bisa terelakkan membawa perubahan yang sangat besar bagi masyarakat, berbagai kemajuan ditemukan dan memiliki sumbangsih besar bagi peradaban umat manusia sekarang. Namun disisi yang lain, IPTEK juga menimbulkan berbagai problem sosial, seperti desintegrasi ilmu pengetahuan, kepribadian yang terpecah, penyalahgunaan iptek, pendangkalan iman, pola hubungan materialistis, menghalalkan berbagai cara guna mencapai tujuan, dan lain sebagainya.

Pola hubungan masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler, dan materialistis ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidup umat manusia. Secara kasat mata kebanyakan mereka terlihat bahagia di luar, namun kering spritualitas karena kebutuhan rohani cenderung terabaikan.

Disinilah peran dari tasawuf sebagai jalan bagi para sufi sebagai obat dalam mengatasi krisis kerohanian masyarakat modern yang telah lepas dari pusat dirinya. Mata air tasawuf yang sejuk sekiranya dapat memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing tersebut.

Kesan bahwa tasawuf yang elitis dan egois dengan mengedepankan atau menunjukkan simbol-simbol seperti jubah, berjenggot panjang kiranya harus didekontruksi. Jalan tasawuf tidak harus dimengerti sebagai orang yang kolot dan menghindar dari kehidupan dunia. Sejatinya tasawuf harus menjadi motor penggerak manusia dengan menjadikan dunia sebagi media mendekatkan diri pada tuhan. Bagaimana manusia bisa mengabaikan hubungan yang horizontal dengan hanya mengedepankan hubungan vertikal, dimana syariah pun mengatur akan kedua-duanya.

Penerapan Konsep Taswuf dalam Kehidupn Modern
Zuhud, secara bahasa berarti bertapa di dunia, adapun secara istilah yakni berusaha melakukan ibadah dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan dunia, dan hanya mengharapkan ridha Allah. Banyak orang yang terjebak pada pengertian zuhud sehingga menimbulkan presepsi yang salah, zuhud tidak menafikkan dunia. Sejatinya dunia merupakan ladang bagi mereka untuk kehidupan kelak di akhirat.

Tawakal, tawakal berarti kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Banyak yang menganggap tawakal merupakan sikat apatis, namun sebenarnya bukanlah demikian, mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Tawakal disini berarti berserah diri kepada Allah yang disertai dengan ikhtiar dan usaha.

Ikhlas, menurut difinisi ikhlas secara bahasa adalah bersih, sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada Allah semata dalam setiap perbuatanya, dan hati tidak boleh menuju selain kepada Allah. Sejatinya konsep ikhlas disini lebih mengarahkan agar manusia lebih berhati-hati dalam setiap melangkah, dan dalam setiap tindakan selalu diarahkan guna mencari ridha Allah semata.

Qana’ah, qana’ah merupakan sikap kepuasan jiwa atas seberapapun rizki yang dimilikinya, sedikit atau banyak tetap diterima dengan penuh rasa syukur. Dengan demikian sikap qana’ah bisa terwujud dengan cara menemukan kecukupan di dalam apa yang dimiliki.

Sabar, sabar merupakan sikap keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan hidup. Dalam menjalani hidup, susah dan senang silih berganti, kadang kala hidup kita lurus dan datar, namun kadang kala hidup kita penuh dengan liku dan mendaki. Akan tetapi sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah dalam Al-Qur’an, hanya orang-orang sabar yang bisa lolos dari kehidupan yang berliku-liku ini. Seperti yang dinyatakan dalam surat Al-Baqarah (2): 155 “Dan sesungguhnya akan kami berikan percobaan yang sedikit kepada kamu, seperti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Kemudian sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar,”

Melihat berbagai realitas masyarakat sekarang yang kehilangan jati diri, bahkan mereka tidak tahu untuk apa sebenanya mereka hidup dan untuk apa sebenarnya mereka diciptakan. Peran tasawuf disini sangat besar, serta tasawuf bisa dijadikan sebagai obat dalam mengatasi krisis kerohanian masyarakat modern.

Corak pandang kita dengan dunia sufi juga harus dirubah, kesan para sufi yang mengabaikan dunia, berjubah, berjenggot panjang itu merupakan sedikit dari sempel corak kehidupan tasawuf. Padahal banyak kalangan yang semaqam dengan para sufi dan mereka berdasi. Cara pandang sufi bukan berarti mereka menolak dunia, dunia bagi mereka merupakan ladang untuk mendekatkan diri dengan tuhan. Lewat perantara dunia maka meraka akan bisa bertemu dengan tuhan. Sudah selayaknya kita tidak menutup mata, akan peran tasawuf dalam mengatasi berbagai permasalahan masyarakat modern yang semakin kompleks sperti sekarang ini.

Kamis, 17 Mei 2012

Lembaga Hukum Islam di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan hampir 80% penduduknya adalah muslim. Namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, tetapi karena Indonesia merupakan negara yag berpenduduk muslim terbesar di dunia maka banyak para ahli yang mengelompokkan Indonesia sebagai kelompok negera-negara Islam.
Mengingat Islam di Indonesia adalah mayoritas, maka unsur Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat sosial sangatlah kental, tidak terkecuali dalam masalah hukum. Dimana meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi dalam penerapan sistem hukum nasional, Indonesia juga menggunakan asas dari unsur Islam.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Islam, dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahanya. Hukum Islam, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Sementara dalam hal perlembagaan hukum, unsur Islam juga banyak mewarnai lembaga-lembaga yang ada di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga sampai sekarang. Dan karena pengaruh Islam sebagai agama mayoritas, di Indonesia juga banyak muncul organisasi-organisasi Islam yang disertai dengan lembaga-lembaga fatwa yang mengkaji tentang hukum Islam. Organisasi-organisasi itu seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, dan lian-lain.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lembaga Peradilan Islam di Indonesia
1.      Sejarah Peradilan Islam
a.       Peradilan Islam Masa Pra Kolonial[1]
Peradilan Islam sudah ada di Indonesia sejak Islam masuk ke Nusantara. Sebelum kedatangan Islam, di Indonesia telah ada dua (2)  jenis peradilan yaitu peradilan pradata dan padu. Kehadiran hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, namun juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya walaupun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya tetapi hukum Islam telah masuk dikalangan penganutnya terutama dalam hukum keluarga, sehingga berdampak pada proses pembentukan dan perkembangan peradilan Islam. Bentuk peradilan Islam pertama di Indonesia adalah tahkim kemudin ahlul halli wal aqdi. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan Islam mulai terlihat pada masa kesultanan Islam yang bercorak majemuk.
b.      Peradilan Islam Masa Kolonial[2]
1.      Peradilan Agama Masa Belanda
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai suatu system hukum telah ada dalam masyarakat tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat istiadat penduduk di Indonesia. Pada masa VOC pemerintah VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang disebut hukum compendium freijer, lalu mendapat koreksi dari para ulama dan penghulu yang kemudian dijadikan sebagai pegangan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara-perkara  antara umat Islam. Sebenarnya pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Balanda.  Setelah Belanda melakukan penetrasi sampai ke desa, politik hukum pemerintah Belanda dan Hindia Belanda terhadap hukum Islam berubah tahap demi tahap secara sistematis, karena pemerintah kolonial mencita-citakan agar  Indonesia mengalami transisi menuju dunia modern(ala barat) yang tidak bercorak Islam dan tidak dikuasai oleh adat. Hukum Islam tahap demi tahap diperlemah dan terakhir disingkirkan dari tata hukum Hindia Belanda.
2.      Peradilan agama pada masa Jepang [3]
Pada masa pemerintaha Jepang akibat dari penataan pada masa peralihan dari pemerintahan Belanda kepada Jepang, dengan keinginan politik Islam  pada saat itu. Jepang menerapkan politik yang simpatik terhadap umat Islam di Indonesia dengan mengeluarkan berbagai peraturan seperti salah satunya UU No 1 tahun 1942 tentang penegasan pemerintah Jepang untuk meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Campur tangan Jepang dalam masalah peradilan agama sangatlah rendah, hanya melakukan pengubahan nama saja.
c.       Peradilan Islam Masa Kemerdekaan
1.      Orde lama[4]
Menjelang proklamasi kemerdekaan, politik hukum pamerintah Hindia Belanda telah melahirka pakar-pakar yang berfaham sekuler tetapi disamping itu masih terdapat para ulama dan para tokoh Islam yang yang bercita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai syari’ah menjadi hukum positif atau sumber atau dasar bagi umat Islam. Tokoh-tokoh yang berfaham sekuler berpendirian bahwa sekulerisasi hukum merupakan ciri dari system politik modern yang didasarkan pada (dua) 2 alasan yaitu hukum agama akan mengurangi kewenangan badan legislative yang merupakan inti dari Negara modern atau akan mengurangi kedaulatan Negara dan hukum agama akan menghalangin tuntutan perubahan masyarakat karena hukum agama itu bersifat statis. Sehingga mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berpendirian bahwa  syari’ah dan hukum Islam hanya sebagai bahan hukum nasional tapi tdak mengikat, mengikat jika sudah diterima oleh hukum adat. Sedangkan kelompok kedua berpendirian bahwa masyarakat yang dicita-citakan wajib menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam yang memerlukan bantuan Negara atau  hukum yang dibuat tidak bertentangan dengan hukum Islam dan kedudukan hukum Islam sejajar dengan hukum adat. Pada masa orde lama setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam lebih maju yaitu unsur-unsur hukum agama dan hukum Islam dipertahatikan seperti dalam pasal 5 UU No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria.
2.      Orde baru[5]
Kehadiran orde baru tahun 1966 memberikan harapan besar bagi perubahan kependudukan peradilan agama di Indonesia. Peradilan agama adalah peradilan Negara yaitu peradilan resmi yang dibentuk pemerintah dan berlaku khusus untuk orang Islam dan menangani perkara perdata tertentu sesuai dengan hukum Islam. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya kompilasi hukum Islam adalah mewujudkan beberapa hal yaitu melengkapi pilar PA ( hukum materiil), menyamakan persepsi terhadap materi hukum, mempercepat proses pemersatuan hukum Islam dengan menghilangkan khilafiyah yang melemahkan potensi umat Islam,  menyingkirkan paham private affair dan mempositifkan bagian tertentu hukum Islam.
3.      Era reformasi[6]
Pada era reformasi terbuka peluang yang luas bagi system hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia, namun tidak terdapat perubahan yang mendasar terhadap kedudukan PA. satu-satunya perubahan struktur dan kedudukan peradilan agama terjadi di provinsi Nangroe Aceh Darussalam berdasarka UU otonomi daerah yaitu UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
2.      Eksistensi Peradialan Islam di Indonesia[7]
a.       Peradilan Islam dalam System Peradilan Indonesia
Peradilan Islam atau peradilan agama merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam member layanan agama kepada masyarakat Islam. Peradilan agama diletakkan sebagai sebuah lembaga Yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintahan, peradilan agama juga harus bertanggung jawab terhadap seluruh aspek penegakan hukum Islam melalui rekrontruksi Islam yang dimaksud untuk menumbuhkan kesadaran agar masyarakat bertingkah laku menurut hukum melalui jalan dakwah, hukum materiil yang menjadi substansi transformasi intelektual pada tiap lembaga pendidikan Islam, penyelenggaraan hukum keluarga, layanan fatwa hukum, dan manajemen harta agama. Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh MA dan peradilan dibawahnya meliputi Peradilan Umum, Agama, Militer dan Tatausaha Negara serta terdapat Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan atau wewenang peradilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas wewenang relative dan wewenang mutlak (absolute). Kewenangan dan kekuasaan PA sebagaimana tercantum dalam  Bab 111 UU No. 7/1989(pasal 49-53) meliputi bidang-bidang hukum perdata. Dengan adanya UU No. 7/ 1989 berarti hukum Islam telah dikukuhkan secara sah sebagai bagian integral dari hukum nasional.
b.      Kewenangan dan Otoritas Peradilan Islam
Semua lembaga pengadilan  di Indonesia memiliki kewenangan dan otoritas masing-masing sesuai dengan aturan Undang-Undang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama memiliki kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang berpekara berdasarkan pertimbangan hukum Islam yang berlaku. Secara  hirarkis penyelesaian perkara di peradilan agama dilksanakan melalui dua (2) lembaga yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan agama di dasarkan pada UU No 7/ 1989 dn UU No 3/ 2006. Berdasarkan aturan di dalam 2 UU tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadilan agama memiliki  kompensasi absolute sebagai pengadilan perdata bagi umat islam yaitu perkara kewenagannya perkara khusus. Perluasan kewenangan absolute pengadilan agama tidak dapat dipisahkan dari asas personalitas yang menjadi cirri khas dan juga perkembangan implementasi hukum Islam di Indonesia. Sejak masa reformasi bergulir keinginan umat Islam untuk menegakkan hukum Islam dalam berbagai Islam mulai terlihat misalnya system ekonomi Islam yang menjadi alternative terbaik bagi system perekonomian dunia.
B.     Lembaga-lembaga Pemberi Fatwa
1.      Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misa utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system, tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakun terakhir pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengbah istilah al- sunnah al-sohihah menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
2.      Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari mazhab. Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’I menempati posisi yang dominan. Metode pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul (pendapat), maka qou itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.
3.      Dewan Hisbah Persatuan Islam
Merupakan organisasi sosial Islam yang berdiri 12 September 1923, kesadaran kehidupan berjama’ah, ber-imamah, ber-imarah dalam menyebarkan syiar islam, persis dimaksudkan untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, yang banyak dipengaruhi oleh aliram Wahabiyah Arab Saudi. Fungsi dan kedudukan persis termaktub dalam konon asasi persis tahun 1957 bab 5 pasal 1 dan cara bekerja persis diatur dalam qaidah majlis ulama. Dewan hisbah persis mempunyai tugas menyelidiki dan menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-qur’an dan Hadis. Metode istinbath hukum dewan hisbah persis secara metodologi pengambilan keputusan dibagi menjadi tiga, yaitu: Ahkam Al-Syar’I, sumber hukum, dan dilalah sunah terhadap hukum.
Metode istinbath hukum yang digunakan yaitu, kaidah ushuliyah (kebahasaan), tujuan umum perundangan Islam, dan cara menyelesaikan nash yang terlihat bertentangan. Meknisme ijtihad yang ditempuh oleh dewan hisbah persis yaitu: mencari keterangan dari Al-qur’an, jika ada perbedaan pemahaman dan penafsiran maka diadakan thoriqot al-jam’I, bila tidak terdapat dalil dari Al-qur’an maka diadakan penelitian tentang Hadis, jika tidak ada di sunah maka dengan atsar sahabat.
4.      Komisi Fatw MUI
Merupakan wadah atau majlis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia, berdiri 26 juli 1975 di Jakarta, pengabdian MUI telah dirumuskan dalam 5 fungsi dan peran utamanya yaitu Pewaris Para Nabi, Pemberi Fatwa, Pembimbing dan Pelayan Umat, Gerakan Ishlah wa Al-tajdid dan Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Metode ijtihad MUI menggunakan system fatwa yang ditetapkan dalam Sidang Komisi Fatwa, Musyawarah Nasional MUI, dan Fatwa ijtima’ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia.






BAB III
KESIMPULAN
Sistem hukum nasional dan perlembagaan hukum nasioal Indonesia terpengaruhi oleh tiga unsur hukum, yakni hukum Eropa, Islam, dan hukum Adat. Pada masa pra kolonial di Indonesia telah ada dua (2)  jenis peradilan yaitu peradilan pradata dan padu dari unsur Hindu. Sementara bentuk peradilan Islam pertama di Indonesia adalah tahkim dan kemudin ahlul halli wal aqdi.
Dalam perkembagan selanjutnya, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Pengaruh Islam juga banyak melandasi munculnya banyak organisasi-organisasi Islam yang disertai dengan lembaga-lembaga fatwa, semisal NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, dan lian-lain.


DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh, “Sejarah, Metodologi, dan Implikasainya di
Indonesia”. Yogyakarta: Beranda
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, “Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya”. Jakarta : Gema Insani Press
Taufiq, dkk. 1998. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung
: Logos
Kansil. 1983. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PN
Balai Pustaka



[1] Dr. Ali Sodikin,”Fiqh Ushul Fiqh”(Beranda). Hlm 233
[2] Drs. Cik Hasan Bisri MS,” Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia”(Logos). Hlm 69
[3] Ibid Ali Sodikin, hlm 241
[4] Ibid Cik Hasan Bisri, hlm 75
[5] Ibid Ali Sodikin Hlm 244
[6] Ibid Ali Sodikin Hlm 248
[7] Ibid Ali sodikin hlm 249, 252

Takhrijul Hadis


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berjalanya waktu perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat baik dalam ilmu-ilmu logika maupun ilmu-ilmu agama. Tidak terkecuali hadis sendiri, sejak zaman Islam klasik, pertengahan, maupun modern perkembangan ilmu yang mengkaji hadis semakin terlihat, dimana dalam era sekarang ini cenderung terdapat kritik atas hadis yang berkembang luas di masyarakat dengan kedudukan hadis tersebut.
Keadaan seperti ini diperparah dengan ketersulitan penelusuran hadis, hal ini bukan saja diakibatkan oleh begitu banyaknya jumlah hadis yang diriwayatkan dari nabi melalui para sahabat dan tabi’in yang terdapat dalam kitab-kitab sumber, melaikan juga terutama disebabkan oleh banyaknya kitab-kitab sumber yang tersedia, menyadari keadaan seperti ini para ulama’ hadis berusaha memberikan kemudahan kepada para pencari hadis dalam sumber-sumber aslinya dengan menggunakan metode Takhrijul Hadis.
2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi :
a.       Pengertian Takhrijul Hadis
b.      Sejarah Perkembangan Takhrij
c.       Tujuan dan Manfaat Takhrij
d.      Metode-metode dalam Mentakhrij Hadis




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Tahrij
Secara etimologis, kata takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Dari kata ini dapat dibentuk kata kharaja yang berarti keluar. Dan dari kata kharaja dapat dibentuk kata ahraja (mengeluarkan), kharraja (mendidik, melatih, memberikan dua warna atau lebih, dan lain-lain), dan istakhraja (mengeluarkan).[1]
Sedang menurut istilah Tahrij memeliki beberapa pengertian diantaranya :
a.       Menyampaikan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam mata rantai sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan menggunakan metode periwayatan yang telah mereka tempuh
b.      Ahli hadis yang menyampaikan beberapa hadis yang telah disampaikan oleh para gurunya
c.       Menunjukkan asal-usul hadis dan mengungkapkan sumber pengambilanya dalam beberapa kitab
d.      Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatan dan matarantai sanad masing-masing dengan dijelaskan oleh para perawinya serta kuwalitas hadisnya
e.       Mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanadnya masing-masing dan dijelaskan kuwalitas hadis yang bersangkutan
Dengan berbagai arti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tahrij berkaitan dengan kegiatan penelitian hadis, sedangkan makna tahrij dapat disimpulkan bahwa tahrij berarti penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab-kitab koleksi hadis sebagai sumber asli, dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan.[2] Atau dengan kata lain Tahrijul Hadis berarti memberikan informasi tempat sebuah hadis berada, yakni pada kitab-kitab sumber asli yang telah meriwayatkan hadis itu dengan sanadnya, kemudian menjelaskan hukum hadis itu.
2.      Sejarah Perkembangan Takhrij
Pada awal perkembangan ilmu dalam Islam, istilah Takhrij tidak diperluhkan karena pada saat itu orang-orang dengan mudah merujuk kepada kitab-kitab aslinya, karena kontak mereka dengan kitab-kitab itu sangat kuat. Keadaan ini berubah pada masa berikutnya karena kurangnya intensitas kajian terhadap sumber-sumber aslinya.
Prof. Hasbi Ash-Shidiqy mengatakan bahwa kegiatan Takhrij hadis telah muncul sejak abad ke-8 H. Namun pembukuan ilmu ini sebagai ilmu baru yang terkodifikasi baru pada akhir abad ke-14 H atau pada abad 20 M.[3]
3.      Tujuan dan Manfaat Takhrij
Tujuan Takhrij
a.       Mencari tahu siapa perawi hadis itu
b.      Mengetahui bagaimana hukum hadis itu
c.       Apakah hadis itu boleh dijadikan dalil atau tidak
Manfaat Takhrij
Bayak sekali manfaat Takhrijul Hadis, diantara manfaat Takhrijul Hadis yaitu :
a.       Takhrij memperkenalkan sumber-sumber Hadis atau kitab-kitab asal hadis
b.      Menambah perbendaharaan sanad Hadis-hadis melalui kitab-kitab asal
c.       Memperjelas keadaan sanad
d.      Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayat dalam kitab-kitab asal
e.       Dapat mengetahui pendapat-pendapat ulama’sekitar hukum hadis
f.       Dapat memperjelas perawi hadis yang samar
g.      Dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad
h.      Dapat menghilagkan kemungkinan terjadi percampuran riwayat
i.        Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya, karena ada kemungkinan perawi-perawi yang memiliki kesamaan gelar
j.        Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad
k.      Memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad, dan lain-lain.[4]
Namun pada dasarnya manfaat takhrij terdapat dua hal pokok meliputi :
a.       Mengumpulkan berbagai sanad dari suatu hadis
b.      Mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis
4.      Metode Tahrij
Untuk mengetahu kejelasan hadis beserta sumber-sumbernya, ada beberapa metode Takhrij yang dapat dipergunakan, diantaranya :
1.      Alfadz
Yakni dengan menentukan lafaz tertentu sebagai langkah penelusuran yang terdapat dalam matan, baik lafaz itu berupa isim atau fi’il. Para penyusun kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini menitikberatkan pada lafal-lafal asing, karena semakin gharib lafal itu maka semakin mudah dalam pencarian hadis.
Kelebihan metode Alfadz
a.       Mempercepat dalam pencarian hadis
b.      Kitab-kitab yang menggunakan metode ini membatasi hadis-hadisnya kedalam beberapa induk meliputi (juz, bab,hal)
c.       Memungkinkan pencarian hadis melalui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis
Kekurangan metode Alfadz
a.       Keharusan kemempuan memiliki pengetahuan Bahasa Arab beserta ilmu-ilmunya
b.      Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat
c.       Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dalam satu lafal, sehingga harus mencarinya dengan lafal yang lain.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras, dan lain-lain.
2.      Atraf
Yakni dengan menjadikan awal matan sebagai pedoman awal, misal :من غشنا فليس منا  langkah untuk mencari hadis ini dengan metode Atraf adalah sebagai berikut :
a.       Lafal pertamanya menggunakan huruf م )  )
b.      Kemudian mencari huruf kedua ( ن ) setelah huruf م )  )
c.       Selanjutnya mencari huruf ( غ ) dan begitu seterusnya
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Sebenarnya dengan metode ini kita bisa dengan cepat dalam mencari hadis tanpa harus menguasai dengan sempurna Bahasa Arab, tetapi bila terdapat kelainan lafal pada lafal pertama akan berakibat sulit dalam mencari suatu hadis.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab Al-Jaami’ Al-Shaghiir, Kitab Faidh Al-Qadiir, Kitab Al-Fath Al-Kabiir, dan lain-lain.
3.      Rawi
Dengan menjadikan perawi sebagai isyarat awal. Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis baik perawi tersebut berasal dari kalangan sahabat atau dari kalangan tabi’in. Para penyusun kitab-kitab yang menggunakan metode ini selalu mencantumkan hadis yang diriwayatkan oleh perawi pertama.
Kelebihan metode Rawi
a.       Memperpendek masa proses Takhrij
b.      Dapat menelaah persanad
Kekuranganya yakni Metode ini sulit digunakan bagi orang yang belum mengetahui perawi pertama.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab-kitab Al-Athraf dan kitab-kitab Musnad.
4.      Mawdhu’
Yakni dengan menggunakan tema dari makna hadis sebagai langkah awal. Teknik ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah biasa dan ahli dalam hadis.
Kelebihan metode mawdhu’ diantanya :
a.       Dapat menemukan bayak hadis dalam satu tema
b.      Mendidik ketajaman pemahaman hadis pada diri peneliti
c.       Tidak memerluhkan pengetahuan di luar hadis
Sementara kekurangan dengan menggunakan metode Mawdhu’ yakni :
a.       Terkadang kandungan hadis sulit disimpulkan oleh peneliti, sehingga tidak dapat menentukan temanya.
b.      Terkadang pula pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab Kanz Al-Ummal Fii Sunan Al-Aqwal Wa Al-Af’al, dan lain-lain.
5.      Sifat
Yakni dengan karakteristik hadis yang dicari, apakah hadis itu maudhu’, qudsy, dan yang lain.
Kelebihan metode ini yakni diantaranya dapat mempermudah metode Takhrij, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar hadis-hadsi yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerluhkan pemikiran yang lebih rumit.[5]
Dan kekurangan metode ini yakni cangkupanya yang terbatas karena sedikitnya hadis-hadis yag dimuat dalam metode ini.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab Al-Qamashidul Hasanah karangan Sakhawi, Kitab Kasful Khafa karangan Al-‘Ijluni, dan lain-lain.











BAB III
KESIMPULAN
Di dalam upaya untuk mempermudah dalam pencarian sebuah hadis para ulama’hadis berupaya memberikan kemudahan kepada para pencari hadis dalam sumber-sumber aslinya dengan mengenalkan metode Takhrijul Hadis.
Takhrijul Hadis sendiri berarti memberikan informasi tempat sebuah hadis berada, yakni pada kitab-kitab sumber asli yang telah meriwayatkan hadis itu dengan sanadnya, kemudian menjelaskan hukum hadis itu.
Sementara dalam mentakhrij suatu hadis terdapat lima (5) metode, yang meliputi :
a.       Alfadz
b.      Athraf
c.       Mawdhu’
d.      Sifat
e.       Rawi

DAFTAR PUSTAKA
Octoberrinsyah, dkk. 2005. Al-Hadis. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga
Mahdi, Abu Muhammad ‘Abd al-. Metode Takhrij Hadis : diterjemahkan dari
bahasa Arab oleh DR. H.S. Agil Husin Munawwar, M.A. dkk. Semarang:
Dina Utama, 1994
Zein, Muhammad ma’shum. 2006. Ulumul Hadis & Musthalah hadis. Jombang :
Al-Syarifah Al-Khodijah


[1] Drs. Octoberrinsyah, M.Ag, dkk. Al-Hadis. (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005) hal. 128
[2] Drs. Muhammad Ma’shum Zein, MA. Ulumul Hadis & Musthalah hadis. (Jombang : Al-Syarifah Al-Khodijah, 2006) hal. 283 & 284
[3] Lihat Al-Hadis (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, hal. 132-133)
[4] Lihat Abu Muhammad Abdul Mahdi bi Abdul Qadir bi Abdul Hadi. Metode Takhrij Hadis; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh DR. H.S. Agil Husin Munawwar, M.A. dkk. (Semarang: Dina Utama, 1994). Hal. 4-6
[5] Abu Muhammad Abdul Mahdi bi Abdul Qadir bi Abdul Hadi. Metode Takhrij Hadis; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh DR. H.S. Agil Husin Munawwar, M.A. dkk. (Semarang: Dina Utama, 1994). Hal. 195