Jumat, 04 Januari 2013


Dilematika Komersialisasi Pendidikan
Aspek kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya meliputi aspek ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Namun dari ketiga aspek tersebut aspek pendidikanlah yang paling pokok, karena pendidikan merupakan lokomotif pembaharuan bangsa, dimana dengan majunya pendidikan aspek ekonomi serta kesehatan akan terangkat.

Pembangunan pendidikan suatu bangsa tidak akan pernah berhenti dan selesai. Karena kondisi bangsa di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir masyarakatnya yang terbentuk melalui proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini ke dalam keadaan yang lebih baik, namun sebaliknya proses pendidikan yang tidak terarah hanya akan membuang energi yang sia-sia dan tanpa ada hasil.

Karena pendidikan merupakan hal mendasar yang harus diperoleh oleh setiap masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Maka setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, tanpa melihat status sosial mereka. Hal ini telah diatur dalam konstitusi NKRI, yaitu termuat dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1.

Banyak sekali aspek yang mendukung keberhasilan proses pendidikan, salah satunya adalah sarana dan prasarana dan keuangan yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan untuk mengelola proses pendidikan. Aspek inilah yang sering kali digunakan sebagai alasaan adanya komersialisasi dalam bidang pendidikan.

Komersialisasi pendidikan memang perlu dan terkadang sangat diperluhkan demi berlangsungnya proses pendidikan, tetapi jangan sampai hal itu menjadi orientasi mencari keuntungan semata karena hal itu akan menyebabkan membiasnya esensi pendidikan sehingga esensi dari proses pendidikan tidak akan lagi dirasakan dan tersampaikan kepada peserta didik.

Namun realitasnya pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi yang tidak terkendali, dan maraknya pungutan liar. Salah satu contohnya kebijakan mengenai rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang  terkesan semakin diskriminatif, dan hanya mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya biaya pendidikan yang hanya mampu dinikmati oleh masyarakat yang berekonomi mapan, sementara kemampuan ekonomi mayoritas masyarakat kita masih tergolong sangat rendah. Bagi masyarakat yang tidak mampu, pendidikan yang bagus hanyalah sebuah mimpi dan ironisnya ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif namun kurang mendapat respon positif dari pemerintah bahkan terkesan dibiarkan berjalan sendiri.

Sebenarnya rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang selama ini dibangga-banggakan menjadi ikon kemajuan pendidikan bangsa ini pincang, pincang karena memang dari awal keberadaanya sudah mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun dalam UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 berbunyi “pemerintah atau peerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”, UU Sisdiknas ini menjadi awal bagi terbukanya ladang komersialisai pendidikan yang disayangkan hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang berekonomi mapan.

Komersialiasi pendidikan semacam ini membuktikan pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan anak bangsa, karena mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu akan sulit memperoleh pendidikan yang layak bahkan semakin sulit pula bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Hal seperti inikah yang dilakukan negara terhadap warganya, sementara dalam konstitusi negara kita diamanahkan bahwa negara harus memberikan pendidikan yang layak, bahkan dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945 telah disebutkan bahwa salah satu tujuan negara ini yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan seharusnya menjadi milik setiap anggota masyarakat, tanpa terkecuali. Dan tidak ada pembagian kelas sosial di dalamnya. Masyarakat yang berekonomi kurang mampupun berhak merasakan pendidikan yang bermutu dan mendapat akses pendidikan yang terjangkau masyarakat.

Selama ini pemerintah juga kurang memperhatiakan pemerataan pendidikan di daerah yang berjalan kurang optimal, biaya pendidikan di daerah juga tergolong sangat tinggi, dan jumlah sekolah yang ada juga sangat terbatas. Warga negara di daerah dan masyarakat adat yang terpencil juga berhak merasakan pendidikan yang layak. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istemewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

Sistem pendidikan kita masih perlu banyak perbaikan, baik dari tenaga maupun fasilitasnya. Pendidikan yang bermutu tidak harus mahal, tetapi pendidikan yang bermutu itu pendidikan yang mampu mencetak insan yang bermoral dan berkarakter disamping penguasaan teknologi yang mempuni. Yang mampu merubah wajah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi kritis terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang pendidikan nasional, karena selama ini kinerja pemerintah dibidang pendidikan tidak menunjukkan hasil yag signifikan. Hal ini dapat terlihat dari masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang tidak melanjutkan pendidikan serta terbatasnya akses pendidikan yang bisa dijangkau masyarakat berekonomi rendah.

Rabu, 02 Januari 2013

Kick Off Divisi Utama 2 Maret 2013

Kick Off Divisi Utama 2 Maret 2013

SNMPTN Hanya Undangan?
Alih-alih memeratakan layanan dan mutu pendidikan secara nasional, tahun 2013 Kemendikbud malah menetapkan SNMPTN 2013 hanya dibuka untuk jalur Undangan, banyak kalangan yang menganggap kebijakan itu jauh dari rasa adil.

Mulai tahun 2013, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang sedianya diikuti oleh 61 perguruan tinggi negeri diseluruh Indonesia tidak akan membuka jalur ujian tulis, tetapi hanya jalur undangan. Sebanyak 150.000 lulusan SMA/SMK/MA diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri melalui jalur ini.

Presentase daya tampung jalur undangan akan diperlebar, setidaknya mencapai 50 persen dari jumlah total mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri yang mencapai 300.000 kursi. Sementara jalur ujuan tulis masih ada, tetapi namanya bukan SNMPTN, melainkan Seleksi Mandiri Bersama yang akan dilakukan serempak di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Alokasi daya tampung untuk Seleksi Mandiri Bersama ini mencapai 30 persen, adapun perguruan tinggi bersangkutan hanya diberikan porsi 20 persen jalur mandiri yang diselenggarakan masing-masing PTN.

Sementara SNMPTN 2013 yang menurut rencana pendaftaranya akan dimulai pada tanggal  1 Februari 2013 s/d 8 Maret 2013 ini mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan sistem SNMPTN tahun sebelumnya. Pasalnya, pemerintah berencana membebaskan biaya pendaftaran, karena selama ini biaya itu dianggap menjadi hambatan bagi sebagian siswa untuk mendaftar. Dan juga dalam sistem penilaian akreditasi sekolah tidak lagi menentukan jumlah siswa yang bisa mendaftar SNMPTN, serta hasil ujian nasional juga digunakan sebagai evaluasi akhir terhadap kelulusan untuk semua jalur seleksi. Kebijakan ini diambil karena beralasan sebagai apresiasi dan bentuk pengakuan atas jerih payah pembelajaran di SMA/SMK/MA.

Banyak kalangan yang mengkritisi kebijakan ini, kebijakan perlebaran jalur undangan dalam SNMPTN ini dinilai kurang efektif dan kurang adil, mengingat pemerataan pendidikan di Indonesia masih sangat pemprihatinkan, apalagi sekolah-sekolah terpencil di daerah disamaratakan dengan sekolah-sekolah di kota yang sudah bertaraf nasional maupun internasional.

Kebijakan ini juga rentan bahkan memicu kecurangan, pasalnya pihak sekolah pasti lebih memprioritaskan nilai-nilai kognitif dan penilaian guru kepada siswa menjadi kurang objektif karena hanya terpaku pada nilai. Manipulasi nilai juga sangat rentan terjadi dilembaga sekolah, karena lemahnya pengawasan.

Sebenarnya kebijakan lama tentang SNMPTN ujian tulis tidak terlalu buruk, dan terbukti lebih efektif untuk meminimalisir kecurangan. Meski begitu, apabila pelebaran SNMPTN undangan jadi terealisasikan, maka perlu pengawasan ekstra dari pihak terkait (Kemendikbud beserta jajaranya) terkait dengan penilaian kognitif yang dilakukan oleh pihak sekolah kepada siswanya. Serta pemerintah disini Kemedikbud harus memberikan porsi penilaian yang lebih terhadap siswa yang memiliki prestasi di luar prestasi akademik, sehingga rasa adil dan kecurangan bisa diminimalisir.

Kebijakan pelebaran SNMPTN undangan ini juga bisa diiringi dengan pemerataan pendidikan disetiap daerah, serta standar penilain antara sekolah satu dengan sekolah lain harus dibedakan. Karena memang diakui atau tidak, perbedaan kualitas antar sekolah mempengaruhi bobot dari nilai yang diberikan pihak sekolah terhadap siswanya.