Dilematika
Komersialisasi Pendidikan
Aspek kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari
beberapa hal, diantaranya meliputi aspek ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
Namun dari ketiga aspek tersebut aspek pendidikanlah yang paling pokok, karena
pendidikan merupakan lokomotif pembaharuan bangsa, dimana dengan majunya
pendidikan aspek ekonomi serta kesehatan akan terangkat.
Pembangunan pendidikan suatu bangsa tidak akan
pernah berhenti dan selesai. Karena kondisi bangsa di masa yang akan datang
sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir masyarakatnya yang terbentuk melalui
proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini ke
dalam keadaan yang lebih baik, namun sebaliknya proses pendidikan yang tidak
terarah hanya akan membuang energi yang sia-sia dan tanpa ada hasil.
Karena pendidikan merupakan hal mendasar yang harus
diperoleh oleh setiap masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Maka setiap
warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, tanpa melihat status sosial
mereka. Hal ini telah diatur dalam konstitusi NKRI, yaitu termuat dalam UUD
1945 pasal 31 ayat 1.
Banyak sekali aspek yang mendukung keberhasilan
proses pendidikan, salah satunya adalah sarana dan prasarana dan keuangan yang
dibutuhkan oleh lembaga pendidikan untuk mengelola proses pendidikan. Aspek
inilah yang sering kali digunakan sebagai alasaan adanya komersialisasi dalam
bidang pendidikan.
Komersialisasi pendidikan memang perlu dan terkadang
sangat diperluhkan demi berlangsungnya proses pendidikan, tetapi jangan sampai
hal itu menjadi orientasi mencari keuntungan semata karena hal itu akan
menyebabkan membiasnya esensi pendidikan sehingga esensi dari proses pendidikan
tidak akan lagi dirasakan dan tersampaikan kepada peserta didik.
Namun realitasnya pemerintah terkesan membiarkan
berbagai komersialisasi yang tidak terkendali, dan maraknya pungutan liar.
Salah satu contohnya kebijakan mengenai rintisan sekolah berstandar
internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang terkesan semakin diskriminatif, dan hanya
mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Hal ini dapat
dilihat dari tingginya biaya pendidikan yang hanya mampu dinikmati oleh
masyarakat yang berekonomi mapan, sementara kemampuan ekonomi mayoritas
masyarakat kita masih tergolong sangat rendah. Bagi masyarakat yang tidak mampu,
pendidikan yang bagus hanyalah sebuah mimpi dan ironisnya ketika ada inisiatif
untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif namun kurang mendapat respon
positif dari pemerintah bahkan terkesan dibiarkan berjalan sendiri.
Sebenarnya rintisan sekolah berstandar internasional
(RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang selama ini
dibangga-banggakan menjadi ikon kemajuan pendidikan bangsa ini pincang, pincang
karena memang dari awal keberadaanya sudah mengandung unsur-unsur yang tidak
sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun dalam UU Sisdiknas pasal 50 ayat
3 berbunyi “pemerintah atau peerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”, UU
Sisdiknas ini menjadi awal bagi terbukanya ladang komersialisai pendidikan yang
disayangkan hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang berekonomi mapan.
Komersialiasi pendidikan semacam ini membuktikan
pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan anak bangsa, karena mereka yang
berasal dari keluarga kurang mampu akan sulit memperoleh pendidikan yang layak
bahkan semakin sulit pula bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi. Hal seperti inikah yang dilakukan negara terhadap warganya, sementara
dalam konstitusi negara kita diamanahkan bahwa negara harus memberikan
pendidikan yang layak, bahkan dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945 telah
disebutkan bahwa salah satu tujuan negara ini yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Pendidikan seharusnya menjadi milik setiap anggota
masyarakat, tanpa terkecuali. Dan tidak ada pembagian kelas sosial di dalamnya.
Masyarakat yang berekonomi kurang mampupun berhak merasakan pendidikan yang
bermutu dan mendapat akses pendidikan yang terjangkau masyarakat.
Selama ini pemerintah juga kurang memperhatiakan pemerataan
pendidikan di daerah yang berjalan kurang optimal, biaya pendidikan di daerah
juga tergolong sangat tinggi, dan jumlah sekolah yang ada juga sangat terbatas.
Warga negara di daerah dan masyarakat adat yang terpencil juga berhak merasakan
pendidikan yang layak. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istemewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak
mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
Sistem pendidikan kita masih perlu banyak perbaikan,
baik dari tenaga maupun fasilitasnya. Pendidikan yang bermutu tidak harus
mahal, tetapi pendidikan yang bermutu itu pendidikan yang mampu mencetak insan
yang bermoral dan berkarakter disamping penguasaan teknologi yang mempuni. Yang
mampu merubah wajah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi kritis terhadap
pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang pendidikan nasional, karena selama
ini kinerja pemerintah dibidang pendidikan tidak menunjukkan hasil yag signifikan.
Hal ini dapat terlihat dari masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang
tidak melanjutkan pendidikan serta terbatasnya akses pendidikan yang bisa
dijangkau masyarakat berekonomi rendah.