Islam dan Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah baru yang muncul
di akhir abad 20 M. Namun sebenanarnya secara esensial wacana ini telah ada
sejak Islam lahir, karena Islam lahir guna membebaskan umat manusia dari
belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum
hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sitem
tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, poligami dan poliandri
tanpa batas/aturan, dan lain-lain).
Istilah teologi pembebasan lahir kemudian setelah muncul wacana
Marxis, sebagai bentuk perjuangan kelas kaum ploletar dari sistem yang dibangun
oleh kaum borjuis. Namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan
teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan
mengacu kepada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Teologi pembebasan sendiri itu lahir guna merombak paradigma
berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syar’i
yag tertuang dalam teks nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist) hanya sebagai sebagai
rutinitas agama (sebatas aturan hukum fiqh), bukan menjadi suatu sitem
keyakinan (tauhid/aqidah) yang menginspirasi umat Islam dalam kehidupan
keseharianya. Semisal dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar, selama ini
landasan tersebut hanya diimplementasikan dalam tatanan fiqh (shalat, puasa,
shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esensial dari tataran fiqh tersebut
tak terimplementasikan dengan sempurna dalam ranah sosial.
Padahal menurut Asghar Ali Engineer, salah satu tokoh yang
memaparkan Islam sebagai teologi pembebasan mengatakan bahwa, teologi pembebasan
lahir untuk mengambil peran dalam membela kelompok yang tertindas, baik
ketertindasan dalam hal religius maupun politik, dan penindasan ini dapat terlihat
dalamtatanan sosial (pengkelasan sosial).
Memang kadangkala Islam (Agama) bisa mencandukan masyarakat
sebagaimana yang diutarakan oleh Karl Mark, bahwa “agama adalah candu” yang
turut serta mempertahankan status quo dan tak mendukung perubahan. Namun disisi
yang lain, Islam (Agama) bisa menjadi sebuah ideologi yang revolusioner sebagai
wujud pembelaan diri dari berbagai penindasan.
Kalau kita mencoba merefleksikan sejarah, memang dalam sejarah
pemerintaha Islam sendiri sering menggunakan agama sebagai alat penguasa untuk
mempertahankan kekuasaan. Terlebih setelah berakhirnya pemerintahan Khulafa’
al-Rashidun, dimana sistem pemerintahan Islam dirombak dari sistem musyawarah
dan mufakat menjadi sistem monarqi yang bersifat turun temurun. Dan pemerintah lebih
condong (dekat) dengan golongan-golongan yang apatis terhadap politik (hanya
menjalankan tututan sya’i sebagaimana tutunan hukum fiqh saja), serta
memberengus golongan-golongan yang tak sefaham dengan pemerintah.
Menurut Ibnu Taimiyyah, pemerintahan demikian bukanlah pemeritahan
yang baik. Yang mana ia menuturkan bahwa sistem pemerinthan yang berkeadilan
walau disertai dengan perbuatan dosa itu lebih baik dari pada sistem tirani
yang alim. Lebih jauh ia mengatakan bahwa Allah membenarkan negara yang
berkeadilan meski diperintah oleh orang kafir dari pada negara yang tidak
menjamin keadilan meski dipimpin oleh orang muslim.
Mengacu pada berbaagai problematika diatas, maka selayaknya Islam
(Agama) harus mentransformasikan dirinya menjadi alat yang canggih dalam
melakukan perubahan sosial. Islam jangan hanya menekankan pada formalitas
ibadah ritual (hanya sampai pada tahapan fiqh), tanpa menghiraukan tatanan
sosial seperti kadilan dan persaudaraan. Sudah menjadi keharusan Islam menjadi
sebuah sistem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menjiwai setiap muslim untuk
melawan berbagai penindasan dan membebaskan manusia dari keterasingan.